Background
“Berdikari”
Saja sekarang berkata kepada Rakjat Indonesia, hai Rakjat Indonesia, Saudara-saudara kita semuanja, dari Sabang sampai ke Merauke, 104 djuta manusia, kita sekarang, Saudara-saudara bukan lagi mendjadi anggota dari PBB. Mari kita berdiri diatas kaki kita sendiri. Djikalau kita memang satu bangsa jang merdeka, dan memang kita adalah satu bangsa jang merdeka, mari kita berdiri diatas kaki sendiri.
“Mahkota Kemerdekaan” h: 7.

Bangkit!
Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; di beri penguat atau tidak diberi penguat, – tiap-tiap mahluk, tiap-tiap umat, tip-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnja berbangkit. Pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka! Djangan lagi manusia, djangan lagi bangsa, walaupun tjatjingpun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!
“Indonesia Menggugat” h: 68.

Bangsa dan Ras
Faham ras (djenis) ada setinggi langit bedanja dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedangkan nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup).
“Dibawah Bendera Revolusi” h: 4.

Bangsa jang Besar
Kita bukan bangsa jang tempe, kita adalah bangsa jang Besar, dengan Ambisi jang Besar, Tjita-tjita jang Besar, Daja-Kreatif jang Besar, Keuletan jang Besar… Bangsa jang Besar, bangsa jang Hanjakrawarti-hambaudenda. Bangsa jang demikian itulah hendaknja bangsa Indonesia!
“Manipol”- h: 85.

Dekadensi
Penjelewengan terus-menerus menjebabkan dekadensi. Kadang-kadang, dekadensi jang berpuluh-puluh tahun lamanja, menjebabkan mengamuknja suatu revolusi baru.
“Manipol” h: 53.
Batja: Penjelewengan didalam Revolusi.

Deklarasi Bogor
Sudah tentu pertemuan-pertemuan untuk persatuan djugalah penting, tetapi pertemuan-pertemuan itu sifatnja membantu, sedang jang pokok tetaplah persatuan jang lahir dari aksi. Dalam hubungan ini kita harus tjatat pertemuan Bogor jang menghasilkan “Deklarasi Bogor” jang diadakan atas inisiatipku dan jang lain kupimpin sendiri. Aku setudju dengan adanja suatu “tata-krama Nasakom”. Di Indonesia, perkembangan Nasionalisme, perkembangan agama, dan perkembangan Komunisme didjamin. Ketiga-tiga aliran itu harus bekerdja sama setjara rukun. Masing-masing tidak diperkenalkan membitjarakan aliran jang lain setjara jang merugikan aliran lain itu. Djuga propaganda anti-nasionalisme, anti-Agama dan anti-Komunisme dilarang.
“Berdikari”.

Dentam-berdentam-gegap-gempita
Revolusi Indonesia adalah “razende inspiratie van de Indonesische geschiedenis”, – inspirasi dentam-berdentam gegap-gempita daripada Sedjarah Indonesia – siapakah dapat memastikan sedjarah, siapakah dapat mematikan Revolusi Indonesia, inspirasi dentam-berdentam-gegap-gempita daripada Sedjarah itu?
“Tavip” h: 8.

Dialoog
Dalam tiap pertemuan 17 Agustus, dalam tiap pertemuan dengan Lembaga Tertinggi Revolusi sebagai sekarang ini, saja seperti mengadakan satu dialoog dengan Rakyat. Satu pembicarakan-timbal- balik antara saja dan Rakyat, antara Ego-ku dan Alter-Ego-ku.
 
***
Petundjuk, nasehat, korreksi, retooling, andjuran, konsepsi, zelfkritiek, penerangan, pembakaran semangat, penggarisan strategi, penetapan taktik, pendorongan dan sekali lagi pendorongan, – semua itu harus meluap-luap dalam dialog jang saja adakan dengan Rakjat pada tiap-tiap saat 17 Agustus itu.
“Gesuri”.

***

Podium [17 Agustus] ini saja pergunakan sebagai tempat dialoog Sukarno-pribadi dengan Sukarno-Pemimpin Besar Revolusi, tempat dialoognja Sukarno-Pemimpin Besar Revolusi dengan Rakyat Indonesia jang ber-Revolusi.
“Tavip” h: 6.

Djembatan Emas
Teriakkanlah sembojan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara jang mendengung menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnja guntur. Dengungkanlah sampai melintas tanah datar dan gunung dan samudra, bahwa Marhaen diseberangnja Jembatan-emas akan mendirikan suatu masjarakat jang tiada keningratan dan tiada keburdjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.
“DBR” h: 322.

Gita
Dentamnja Revolusi, jang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak, kadang-kadang bersuara jerit-pahit, sebagai satu keseluruhan kita dengarkan sebagai satu njanjian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnja gelombang samudra jang bergelora pukul-memukul membanting di pantai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan jang amat dahsjatnja.
“Tavip” h: 10.

Ho-lopis-kuntul baris
Pengedjawantahan kesadaran sosial itu ialah persatuan, gotong rojong semangat jang saja namakan semangat “ho-lopis-kuntul-baris”. Semangat persatuan, semangat gotong-rojong, semangat “ho-lopis-kuntul-baris” itu adalah sjarat mutlak bagi terselenggarakannja masjarakat adil dan makmur.
“Manipol” h: 67.

Hoogste gezagdrager

Ordening politik-ekonomis-sosial itu dus sebenarnja adalah kekuasaan pokok, – hoogste gezagdrager – daripada kehidupan nasional kita ini. Autoriteit jang tertinggi dalam kehidupan Nasional kita itu, autoriteit Tjakrawarti dalam Revolusi kita itu, adalah ordening kollektif jang saja maksudkan itu.
“Manipol” h: 68.

Hukum-hukum Revolusi
Sekarang Roda Revolusi sudah berputar kembali atas dasar Hukum-hukum klassik dari semua Revolusi. Apakah Hukum-hukum klassik daripada Revolusi itu?
Satu: Tiada Revolusi djikalau ia tidak mendjalankan konfrontasi terus-menerus – confrontasi de tous les jours.
Dua: Tiada Revolusi djikalau ia tidak berupa satu disiplin jang hidup, disiplin dibawah satu pimpinan.

“Gesuri”.

Introspeksi
Pada hari 17 Agustus kita mengadakan introspeksi kepada diri sendiri, sudahlah kita melakukan segala kewadjiban jang harus kita lakukan?
“Djarek” h: 108.

Irama Revolusi
Segala pasang-naik dan pasang-surutnja perdjoangan, segala pukulan jang kita berikan dan pukulan jang kita terima, adalah iramanja perdjoangan, iramanja Revolusi.
“Tavip” h: 10.
                                                                                                                                            
Refrensi: http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:megawati-canangkan-juni-bulan-bung-karno&catid=55:blog-bk&Itemid=102
PENDIDIKAN kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia. Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia).

Sampai saat ini, Monas dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat sebagai kawasan yang amat bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan Merdekanya yang luas dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin malah surganya kota, mengacu pada pendapat seorang pakar bahwa park is urban paradise.


Arsitek-seniman

Sepanjang pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia arsitektur. Boleh saja George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern.

Namun, ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-gedung atau monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan perhatiannya. Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai skala kota pun digagas dan direalisasikan.

Patung Pembebasan Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan, kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah.

Taman Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang terbuka yang begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang presiden yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan kemungkinan memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus dibangun. Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya ternyata berkembang dengan baik sampai sekarang.

Senang sayembara

Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan yang dihasilkan melalui sayembara.

Monas yang terbangun sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut tokoh arsitek senior Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan pemenang ketiga adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan sehingga terbangun seperti yang tampak sekarang ini.

Prinsip bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan yang termasuk kategori junk architecture atau arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.

Begitu pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo.

Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari.

Tak berpikir sempit

Mengenai perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud nyata. Manakala Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali bukanlah berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang Kristen, terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan berita yang mestinya mengejutkan?

Gedung Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di Menteng juga bukan karya seorang pribumi melainkan karya pematung mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di mancanegara.

Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi bahwa bangunan dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai (berjalan dan berlari dari bukit Safa ke Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas saran Bung Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya setiap tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.

Dalam suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver pertarungan kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan seperti Bung Karno. Pemimpin negara yang tidak hanya tinggi kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan seniman yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa.

* Eko Budihardjo Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah.
                                                                                                                                          
Refrensi: http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=296:bung-karno-arsitek-seniman&catid=73:artikel-utama-blog-bung-karno&Itemid=123
Dapat artikel menarik nih yaitu tentang sejarah pak Karno terutama kisah-kisah masa kecilnya. Amat cocok bagi teman-teman yang ingin merubah nasibnya menjadi lebih baik. BAhwa kesuksesan tidak harus dimulai dari modal yang besar saja..melainkan tekad dan semangat untuk maju dan juga tekad yang kuat untuk berhasil menggapai semua cita-cita. Lebih lanjut mengenai kisah kecil soekarno simak artikel berikut:


Bung Karno: Bisa Benjol!
Walentina Waluyanti – Holland

Buat Bung Karno, nampaknya kesengsaraan tidak ada hubungannya dengan gaya dan penampilan. Bung Karno tidak menutup-nutupi masa lalunya yang melarat. Tentang bagaimana di masa kanak-kanaknya, dirinya tidak pernah mengenal sendok dan garpu.

Bung Karno juga mengenang bagaimana anak tetangga lain yang juga miskin, tapi mereka masih bisa membeli jajan buah pepaya dan lainnya, sementara dirinya sama sekali tidak mampu. Bahkan di hari Idul Fitri, dia cuma bisa menatap sedih anak-anak miskin lain mampu membeli petasan yang harganya cuma satu sen itu, sedang dirinya tidak. Satu sen pun dia tak punya!

Dia juga menceritakan, bagaimana di keluarganya dulu bahkan makan satu kali sehari pun, kadang tidak mampu. Tak jarang mereka hanya makan ubi kayu dan jagung tumbuk. Untuk membeli beras paling murah pun, ibunya tak sanggup. Solusinya, ibunya membeli padi yang masih harus ditumbuk untuk memperoleh butiran beras. Karena dengan cara begitu, mereka dapat menghemat uang satu sen dan dengan satu sen itu ibunya bisa membeli sayur.

Mungkin juga karena tumbuh dalam kondisi serba terbatas itu, Bung Karno tumbuh sebagai anak penyakitan. Kata Bung Karno, “Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria, disentri, semua penyakit dan setiap penyakit”. Menurut kepercayaan tradisional, anak sakit-sakitan harus diganti namanya. Karena itu Kusno nama kecilnya, diganti ayahnya menjadi Soekarno.

Ketika kelak tumbuh sebagai remaja, dan sudah mempunyai kesadaran berpenampilan, kemiskinan itu tampaknya tak mempengaruhi Bung Karno dalam bergaya.


Kiriman uang saku dari orangtuanya dan ekstra uang saku dari Pak Poegoeh kakak iparnya di Surabaya, dihematnya sen demi sen. Namun itu tak berarti dirinya tidak bisa tampil keren. Tampak dari foto-fotonya, sejak muda Bung Karno selalu berbusana apik dan menawan. Biar kalah nasi, yang penting tidak kalah aksi! Tampaknya sejak muda Bung Karno sudah punya bakat sebagai pencipta trend mode di jamannya.

Di dalam buku “Sukarno Penjambung Lidah Rakjat”, Bung Karno bercerita tentang perselisihannya dengan penghulu. Ketika itu akan dilangsungkan pernikahannya dengan Utari, putri HOS Tjokroaminoto. Itu adalah pernikahan pertama bagi Bung Karno. Penghulu memintanya untuk melepaskan dasinya. Soalnya dasi itu dianggap simbol budaya Kristen. Bung Karno tidak bisa mengerti larangan itu. Dia berusaha menjelaskan, dirinya sangat menyukai berpakaian pantas dan rapi. Tapi penghulu tidak mau menerima alasan itu. Karena Bung Karno tetap ngotot mengenakan dasi, penghulu mulai menggertak. Penghulu menolak menikahkan jika Bung Karno tidak melepaskan dasinya!

Bukannya ciut oleh gertakan tadi, Bung Karno malah semakin marah. Persetan! Rasanya dia lebih baik tidak menikah saja kalau soal berpenampilan pun, dirinya mesti diatur-atur. Bung Karno menulis, “Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Bung Karno menjadi emosi oleh penghulu yang mencoba mengatur dan mengancamnya. Lalu dia menggeledek, “Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak, dan saya akan selalu memberontak, saya tidak mau didikte orang di hari perkawinan saya!”.

Sebagaimana umumnya lelaki, Bung Karno juga pernah berusaha menumbuhkan kumisnya. Mungkin bisa tampak lebih gagah dan ganteng. Tapi sayang usaha itu sia-sia. Kumisnya hanya tumbuh sebaris tipis saja. Sejak itu dia tidak pernah lagi mencoba-coba jadi “Pak Kumis”. Tetap bergaya klimis rapi.

Di sebuah majalah jadul, saya pernah membaca wawancara dengan Dewi Soekarno. Dewi bercerita tentang bagaimana Bung Karno tetap memperhatikan penampilannya, juga ketika usianya beranjak senja. Bung Karno sering memintanya menolong bukan saja mengecat rambutnya yang beruban, tapi juga alisnya! Sebelum Bung Karno berpidato, untuk menyamarkan pucat di wajahnya, tak jarang Dewi membubuhi sedikit rona merah dengan pupur membayang tipis di wajah suaminya itu.

Kesukaan Bung Karno akan gaya dan penampilan mematahkan pendapat orang tentang pria Jawa yang umumnya berpenampilan seadanya. Sudah banyak yang membahas bagaimana peran Bung Karno sebagai trend setter mode pria di Indonesia. Mulai dari idenya tentang pemakaian kopiah yang hingga kini dipakai pria Indonesia dan menjadi salah satu identitas bangsa. Juga gaya busananya yang banyak ditiru pria di jamannya. Misalnya stelan jas putih dan baju safari lengan pendek maupun lengan panjang.


Baju kepresidenannya yang bergaya militer membuatnya tampak gagah berdampingan dengan pemimpin dunia lainnya. Baju itu adalah hasil rancangannya sendiri. Karena itu Bung Karno pernah tersinggung dengan kritik Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang (kala itu masih kolonel) yang menyarankan Bung Karno agar tidak memakai baju militer dengan segala atributnya itu.

Sejak menjadi pemimpin bangsa, Bung Karno tak pernah tampak mengenakan pakaian adat yang mewakili suku tertentu. Dia punya alasan khusus tentang ini. Bukan karena tidak mencintai tradisi. Justru sebaliknya dialah penganjur tradisi budaya, termasuk pakaian adat. Namun sebagai kepala negara, dia memposisikan dirinya harus netral berdiri di atas semua golongan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu dia mengorbankan identitas sukunya dengan sama sekali tidak pernah berpakaian daerah.

Walaupun semasa menjadi presiden tidak pernah berbusana daerah, namun Sukarno punya kepedulian terhadap pelestarian batik. Sukarno menghidupkan tradisi pameran batik di istana negara. Salah satu konsep Sukarno tentang batik khas Indonesia yaitu batik motif Terang Bulan. Motif batik ini kemudian dirintis dan diwujudkan oleh Ibu Sud atau Saridjah Niung Bintang Soedibjo.

Dulu Bung Karno sering meledek Ibu Sud yang berpinggul besar itu dengan julukan “bokong gede”, menunjukkan pertemanan mereka yang akrab. Karena keakraban itu, Ibu Sud paham bagaimana menerjemahkan batik Indonesia konsep Bung Karno. Selain dikenal sebagai pencipta lagu kanak-kanak, Ibu Sud (nenek disainer busana Carmanita) ini memang juga seorang pembatik. Motif batik Terang Bulan konsep Sukarno adalah batik yang mengkombinasikan motif batik kraton dan batik pesisir.


Batik Terang Bulan Konsep Bung Karno yang diwujudkan Ibu Sud


Orang sering menggeneralisir adat etnis dengan cara seseorang dalam berpenampilan. Pada Sukarno, gaya dan penampilannya lebih pada soal insting, selera, kesadaran dan pemahamannya tentang estetika. Bukan sekedar karena harus menjaga penampilan sebagai kepala negara . Karena jauh sebelum menjadi pemimpin bangsa pun, penampilannya selalu terjaga apik, sampai rela adu mulut dengan penghulu nikah.

Kecenderungannya untuk selalu tampil representatif nampaknya memang sudah bakat natural-nya. Sudah dimulai sejak remaja. Selalu tampak begitu flamboyan. Sukarno memang punya selera. Sebagaimana dikatakannya ketika membetulkan dasi Menhan Amerika, “Tuan punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi!”. Kesenimanan Sukarno membuatnya memandang mode dan gaya juga adalah bagian dari seni.

Itu diakuinya sendiri ketika perasaannya remuk akibat dikurung di penjara Banceuy Bandung yang lebarnya 1,50 meter dan panjangnya seperti peti mayat. Dikatakannya, “....aku rasanya hendak mati. Pengalaman yang meremukkan. Aku adalah seorang yang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah orang yang suka memuaskan perasaan. Aku menyukai pakaian bagus....”.

Ketika Bung Karno sekeluarga tiba di Jakarta 9 Juli 1942 dari pengasingannya di Sumatera, topik yang paling pertama ditanyakannya adalah “mencari tukang jahit”. Saat itu kapal laut “Van Riebeeck” yang ditumpanginya berlabuh di pelabuhan Pasar Ikan, di Penjaringan Jakarta Utara. Di masa lalu pelabuhan Pasar Ikan dikenal juga dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa.

Berita kembalinya Bung Karno di Jawa, setelah pembuangan di Sumatera

Orang pertama yang menjemputnya di pelabuhan itu adalah Anwar Tjokroaminoto, adik Utari, bekas adik iparnya. Melihat jas Anwar yang keren, Bung Karno lalu menyadari jas putih plus celana kedodoran yang dikenakannya sudah ketinggalan jaman. Betapa berbeda dengan stelan jas Anwar warna ivory yang dilihatnya jauh lebih modern.

“Jasmu bagus sekali potongannya”, puji Bung Karno. Anwar hidungnya kembang kempis dipuji Bung Karno. “Bikinan penjahit De Koning”, sahut Anwar berlagak. Anwar lalu buka rahasia bagaimana caranya ke penjahit itu, dengan harga miring. “Melalui pintu belakang”, bisik Anwar. Bung Karno segera tertarik ingin menjahit bajunya di penjahit yang tergolong penjahit terbaik dan mahal di Jakarta di kala itu. “Apa dia mau menjahit untukku?”, tanya Bung Karno pada Anwar. Percakapan selanjutnya antara keduanya bukan tentang strategi perjuangan, tapi kasak-kusuk tentang baju. Nah, ternyata omong-omong soal baju bagus bukan cuma monopoli perempuan saja.

Di kemudian hari, Bung Karno yang pesolek melengkapi gaya busananya dengan tongkat komando. Banyak orang percaya, tongkat komando itu adalah jimat saktinya. Tapi Bung Karno membantah. Tongkat komando itu semata-mata untuk menunjang gayanya. Dia menyebut dirinya “pelagak”. Dia berkata bahwa tongkatnya sama sekali tidak sakti, “tapi kalau diketok di jidat, ya bisa benjol”.

Bung Karno: Tongkat komando ini tidak sakti, tapi bisa bikin benjol!


Ide, inspirasi, karya, cita-cita memang tidak perlu selalu ditentukan oleh mahal dan mewahnya gaya hidup, gaya berbusana dan gaya berpenampilan. Dengan kepantasannya mempresentasikan diri, Bung Karno mampu memberi citra tersendiri bagi bangsanya di dunia internasional. Padahal kondisi Indonesia ketika itu masih begitu miskin. Dengan gayanya sebagai “pelagak”, dia mampu menyejajarkan bangsanya dengan para penista kemiskinan yang pongah itu.

Ya, apa salahnya jika gaya dan penampilan bisa membuat seseorang menjadi bergairah dan inspiratif dalam mewujudkan ide, karya dan cita-citanya?

Walaupun senang bergaya, Bung Karno tidak silau harta. Di akhir kekuasaannya, kala dipaksa meninggalkan istana oleh Suharto, Bung Karno ternyata tidak turut membawa serta kemeja-kemeja favoritnya “Arrow”, arloji Rolex dan benda berharga lainnya. Semua itu digeletakkannya begitu saja.
Kemeja Arrow di balik jas Bung Karno


Menurut kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid (anggota Detasemen Kawal Pribadi/DKP), Bung Karno meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967, hanya ber-kaos oblong cap cabe, celana piyama krem dan bersandal merk Bata yang sudah usang. Di pundaknya tersampir baju piyama-nya.

Tangan kanannya menggenggam sesuatu yang sangat berharga. Lebih berharga daripada kemeja Arrow, parfum Shalimar favoritnya, uang dollar dan emas batangan yang tak ikut dibawanya, dan hingga kini tak diketahui di mana semua itu. Hanya satu benda yang dibawanya ketika meninggalkan istana. Benda yang merupakan simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk bangsanya. Itulah yang digenggamnya erat, yaitu bendera pusaka yang dibungkus gulungan kertas koran, hasil jahitan Fatmawati istrinya. Toh walau berkaos oblong seadanya, semua itu tidak membuat kewibawaannya serta merta sirna.

Wibawanya itu bahkan tetap hidup hingga kini, walaupun jauh sebelumnya dia sudah mengalami “pembunuhan” secara perlahan di pengasingannya di Wisma Yaso. Bung Karno seakan menyadari itu. Karena itu, menurut Sidarto Danusubroto ajudannya, Bung Karno menulis di bukunya kalimat filsuf Jerman Ferdinand Freiligrath, “ Man töten den Geist nicht”. Ya, tak ada yang bisa membunuh jiwa.

Gaya dan penampilan memang tidak kekal. Tapi melalui kekekalan jiwanya, gaya dan penampilan Bung Karno menjadi kenangan kekal yang tetap tergores dalam sejarah.

Walentina Waluyanti
Nederland, 14 April 2010
                                                                                                                                     
Refrensi: http://www.didiksugiarto.com/2010/04/sejarah-soekarno-dari-masa-kecil.html
Masa jabatan: 12 Maret 1967–21 Mei 1998 (31 tahun)

Wakil Presiden:
  • Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973–1978)
  • Adam Malik (1978–1983)
  • Umar Wirahadikusumah (1983–1988)
  • Sudharmono (1988–1993)
  • Try Sutrisno (1993–1998)
  • B.J. Habibie (1998)
Pendahulu: Soekarno
Pengganti: B.J. Habibie

Menteri Pertahanan ke-14
Masa jabatan: 28 Maret 1966–17 Oktober 1967
Presiden: Soekarno
Pendahulu: A. H. Nasution
Masa jabatan: 17 Oktober 1967–28 Maret 1973
Presiden: Soeharto
Pengganti: Maraden Panggabean

Lahir: 8 Juni 1921. Bantul, Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal: 27 Januari 2008 (umur 86)
Kebangsaan: Indonesia
Partai politik: Golkar

Suami/Istri: Tien Soeharto

Anak:
  • Siti Hardijanti Rukmana (Tutut)
  • Sigit Harjojudanto (Sigit)
  • Bambang Trihatmodjo (Bambang)
  • Siti Hediati Hariyadi (Titiek)
  • Hutomo Mandala Putra (Tommy)
  • Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Profesi:     Tentara
Agama:     Islam

                                                                                                                                   
Refrensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto


Artikel Terkait                                                                                                               
Masih dalam Perbaikan
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun) adalah seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) di Indonesia.

Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.

Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai tiga murid yang yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Semaun yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis.

Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit setelah Kongres SI di Banjarmasin.

Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
                                                                                                                              
Refrensi : http://berita.univpancasila.ac.id/berita-774-haji-oemar-said-tjokroaminoto-.html
Kunjungan Soekarno ke Amerika Serikat (Dok. GATRA)Menjadi istri Bung Karno merupakan suratan nasib dan kehendak Tuhan. Begitulah Yurike mengawali kisahnya. Ia mengaku, hal itu sama sekali bukan kemauannya sejak awal, juga bukan jenis impian murid SMA yang pada waktu itu masih senang bermain karet gelang. Lagi pula, sejak awal mengenal Bung Karno, Yurike yang bukan siapa-siapa itu merasa sangat tidak pantas menerjemahkan isyarat yang ditampakkan Bung Karno sejak awal sebagai rasa cinta seorang lelaki kepada seorang perempuan. Perjalanan nasib pula yang membuat Yurike harus melupakan impiannya menjadi pramugari.

Berawal dari kedatangan seorang bintang film bernama Dahlia ke sekolahnya pada awal 1963. Rupanya, sang bintang film itu sudah lama mengamati dan mengincar Yurike untuk dijadikan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kelompok remaja berjumlah 50 pasang yang tampil mengenakan pakaian adat Indonesia pada acara-acara kepresidenan.

Babak baru dalam kehidupannya makin jelas terasa setelah benar-benar masuk dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu. Setelah mendapat bimbingan dan pengarahan secukupnya, ia pun resmi menjadi anggota. Pertama kali terjun dalam kelompok itu pada sebuah acara kepresidenan yang digelar di Istora (Istana Olahraga) Bung Karno. "Aku yang merupakan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika termuda tampil dengan kebaya Jawa," tulis dia mengenang peristiwa itu.

Kejutan berikutnya berlangsung ketika pertama kali tampil itu. Yurike mengaku sangat canggung karena ini merupakan pengalaman baru. Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya pada saat Bung Karno justru berhenti tepat di hadapannya ketika melewati Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa diduga, sang presiden malah menyapa dan menyempatkan diri berdialog singkat dengannya.

"Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih dari sekilas. Barangkali karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, (Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." Yurike menjawab semua pertanyaan singkat presiden dengan perasaan campur aduk: bingung, malu, dan bangga. Apalagi, Bung Karno sempat terkecoh oleh posturnya yang bongsor, sehingga menyangka Yurike yang masih duduk di bangku SMP itu seorang mahasiswi.

Dalam perkenalan singkat itu juga, sebelum berlalu, Bung Karno mengatakan kepadanya sebaiknya tidak memakai nama dengan akhiran "ke" atau "ce". "Pakai Yuri saja. Nama dengan embel-embel 'ke' atau 'ce' itu kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian nasional kita." Yurike pun hanya mengangguk mengiyakan.

Yurike tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya sejak tatapan pertama dengan Bung Karno itu. "Matanya yang jernih dan terang itu sepertinya hinggap ke pusat mataku dan sampai kapan pun tak bisa kulukiskan dengan jelas. Bicaranya mantap, wajahnya tampan, dan makin tampak gagah dengan jas cokelat tua yang dipenuhi atribut resmi di kedua pundak dan dada kirinya. Secara kebetulan pula, warna cokelat tua memang warna favoritku," tulis dia.

Seiring dengan keterlibatannya yang makin intens dalam kegiatan Barisan Bhinneka Tunggal Ika, makin sering pula ia bertemu dengan Bung Karno. Yurike mengungkapkan beragam perhatian khusus yang diberikan Bung Besar itu kepada dirinya. Bermula dari sekadar menyuruh duduk di dekatnya ketika ada acara resmi di istana, juga dengan mengambilkan kue tradisional dari meja.

Untuk itu, Yurike menulis kenangannya. "Perhatian Presiden Soekarno kepadaku memang terasa agak khusus. Di antara puluhan gadis yang tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, menurut pengamatanku, jarang sekali yang menerima perlakuan demikian. Aku tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan berlanjut menjadi hubungan yang lebih serius."

GATRA (Dok. GATRA)

Diantar Pulang Bung Karno
Suatu ketika di Istana Bogor, setelah acara resmi usai, Yurike bersantai seperti biasa ia lakukan: mengobrol dengan para pengawal. Tiba-tiba Bung Karno berteriak-teriak memanggil namanya. Pada saat itu, Presiden Soekarno sedang menikmati makan malam satu meja dengan tamu-tamunya. Ia diminta duduk di sebuah kursi yang tampak sengaja dikosongkan persis di sebelah RI-1 itu.

Pada saat yang lain, ia didatangi kepala pool kendaraan istana yang menyampaikan perintah Bung Karno kepadanya. Yurike disuruh memakai salah satu mobil istana untuk antar-jemput setiap kali mengikuti agenda Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Yurike tampaknya ingat betul momen itu. "Tawaran menggunakan mobil istana tersebut disampaikan beberapa hari menjelang peristiwa fenomenal dalam dunia olahraga: Games of the New Emerging Forces (Ganefo) I yang upacara pembukaannya dilakukan pada 1 November 1963 di Stadion Utama Gelora Bung Karno," tulis dia.

Malah peristiwa berikutnya pada masa itu makin di luar dugaan Yurike. Keistimewaan yang didapatkannya terus diikuti dengan keistimewaan lain yang lebih besar. Pada saat pembukaan Ganefo itu, petugas protokol meminta Yurike menjadi penjemput presiden ketika turun dari mobil kepresidenan. Ini jelas menyimpang dari kebiasaan acara protokoler yang umum disaksikannya pada masa itu.

Di lain pihak, peristiwa itu memberi bekas sangat dalam pada dirinya. "Dan, mata kami bertemu. Kurasa, hati kami juga bertemu. Kutangkap kemilau yang seolah menyimpan magnet tersebut. Sementara, tanpa sadar, aku melempar senyum lewat mataku. Biarpun hal itu cuma hadir selintasan, peristiwa yang amat menggetarkan itu lama sekali berlabuh teduh di lembah kenangan."

Isyarat perhatian khusus dan mendalam Bung Karno kian kentara pada masa-masa selanjutnya. Sampai suatu ketika, di tengah acara ramah-tamah presiden dengan pengurus Front Nasional di Istana Merdeka, ajudan Bung Karno meminta dia tidak pulang dulu usai acara. "Soalnya, Bapak yang mau mengantarkan pulang," katanya.

Percaya atau tidak percaya, ternyata begitulah adanya. Yurike duduk bersebelahan dengan Bung Karno di jok belakang sedan Lincoln itu. Perasaan kikuk menyelimuti dirinya selama perjalanan pulang. "Jok besar itu lebar sekali. Kurasa, untuk empat orang pun masih lega. Terbelenggu oleh sikap segan yang demikian besar, juga rasa malu yang sungguh tak teratasi, dudukku seolah menyatu dengan pintu."

Penampilan Bung Karno pada saat mengantarkannya pulang malam hari sekitar pukul 11 itu pun tidak biasa. Bercelana biru tua, kemeja lengan pendek biru muda, bersandal kulit hitam, dan tanpa peci. "Kepala yang biasa berpeci itu agak mengubah sedikit raut wajahnya. Dahinya tampak lebar sekali dan seolah menyambung dengan bagian tengah kepalanya yang botak."

Tanpa sungkan-sungkan pula, Yurike menuturkan bahwa penampilan yang lain dari biasanya itu sempat membuat ayah-ibunya terkecoh. Mereka menyangka, yang datang mengantar hanyalah kepala rumah tangga istana. Malah ayahnya sempat bersikap sinis dan agak kurang sopan ketika menyambut sang pengantar. Setelah tahu yang datang Bung Karno, suasana pun berubah sama sekali.

GATRA (Dok. GATRA)

Bung Karno Menyatakan Cinta
Pada hari-hari berikutnya, seperti bisa ditebak, hubungannya dengan Bung Karno makin dekat. Sang presiden, dalam sebuah perjalanan diam-diam keliling kota pada malam hari, meminta Yurike memanggilnya "Mas", bukan "Pak". Kembali beragam perasaan berkecamuk dalam dirinya. Apalagi, dia sendiri punya pacar: Wisnu namanya.

"Sudah terbalikkah bumi ini? Sudah sedemikian kacaukah pendengaranku? Sudah tak berlakukah norma atau etika kepantasan yang menempatkan sikap hormat sebagai keharusan? Mustahil presiden yang usianya di atas ayahku minta dipanggil 'Mas' oleh seorang gadis SMA. Bagaiamanapun beraninya aku, lidahku pasti mendadak beku sebelum sepotong kata itu keluar dari tenggorokan."

Perjalanan diam-diam keliling kota yang diistilahkan Bung Karno sebagai perjalanan incognito itu semakin sering dilakukan. Hingga suatu malam, sebuah kejutan lain yang lebih besar dialami Yurike ketika diajak ke tepi pantai. Dimulai dari pertanyaan Bung Karno soal suami idaman Yurike, obrolan mereka makin menjurus ke soal pribadi. Akhirnya Bung Karno berujar dengan wajah serius: "Apa Adik tidak tahu Mas mencintai Adik?"

"Sepertinya langit runtuh. Kepala semakin berpendar-pendar bagai kejatuhan benda yang berat sekali. Mengingat sikap-sikapnya, pernyataan demikian memang bisa muncul sewaktu-waktu. Tetapi, tak urung, rasa kaget menerkamku," tulis Yurike mengungkapkan perasaannya ketika itu.

Lalu ia melanjutkan, "Tak pernah aku segemetar seperti saat itu. Raut wajah Ibu, Ayah, saudara, guru-guru di sekolah, kerabat, famili, orang-orang yang ada di sekitar Bung Karno, terakhir kekecewaan Wisnu, bergantian menghiasi pelupuk mata. Semula samar-samar, lalu menjadi jelas. Sejujurnya kuakui, rasa banggaku membukit. Pada detik-detik tersebut, aku merasa bukan anak gadis remaja, tapi sepenuhnya menjadi seorang perempuan yang menerima pernyataan cinta seorang lelaki."

Dan saat itu pun tiba, ketika Bung Karno menyatakan niatnya memperistri Yurike. "Kurenungi laut angan-angan sepuasnya. Pikiran terbang bebas sebebas-bebasnya, jauh meninggalkan apa yang selama ini tampak menakutkan. Gerak kehidupan baru menuju dunia kenyataan rasanya semakin dekat manakala Bung Karno, berselang tidak lama, menyatakan niatnya memperistriku. Bung Karno ingin tahu jawabanku saat itu juga. Tetapi, bagaimana mungkin? Masalah perkawinan tidak bisa kuputuskan sendiri. Aku minta waktu dengan suara tersendat untuk membicarakannya dengan orangtuaku."

GATRA (Dok. GATRA)

Peristiwa Menjelang Pernikahan
Pernyataan Bung Karno soal keinginannya memperistri Yurike berulang di istana. Kejadiannya berlangsung beberapa hari setelah upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Wisma Nusantara, Rabu 1 April 1964. Setelah acara yang diikutinya selesai, seorang ajudan memintanya menunggu di teras belakang istana karena "Bapak" ingin memberi kenang-kenangan.

Ternyata Presiden Soekarno menghadiahi Yurike sebuah kalung dari koleksinya yang berjajar di sebuah ruangan di istana. Malah lelaki itu sendiri yang memilihkannya untuk sang pujaan hati. Ini boleh saja dibaca sebagai lamaran tidak resmi sang presiden.

Lamaran resminya disampaikan Bung Karno kepada orangtua Yurike, beberapa waktu kemudian. Bung Karno rupanya mengatur hal itu sejak awal, karena beliaulah yang minta makan malam bersama dengan keluarga Yurike. "Selesai makan, tanpa disangka-sangka Bung Karno menyampaikan niatnya untuk memperistriku. Persisnya: Bung Karno melamar! Kubaca keterkejutan yang terpeta di wajah orangtuaku. Kurasakan luluh segenap sendi tulangku."

Orangtua Yurike jelas sangat terkejut. Ayahnya, tidak bisa lain, menyampaikan rasa terima kasih karena anaknya mendapat tempat istimewa di hati Bung Karno. Dia pun minta waktu untuk memberi jawaban. "Mohon kami diberi waktu untuk berunding, terutama dengan Yurike sendiri. Sebagai orangtuanya, kami tidak bisa membuat keputusan sepihak karena hal demikian akan kurang baik bagi kehidupannya nanti," demikian sang ayah menanggapi lamaran itu.

Yurike sendiri pada saat itu pun seperti didera kebimbangan berkepanjangan. "Aku hanyalah gadis yang baru dijemput ambang remaja. Di sekolah, aku tidak lebih hanya seorang murid yang masih tidak ingin terlambat datang untuk mengikuti jam pelajaran pertama, masih senang jajan es mambo pada jam istirahat. Lalu tiba-tiba saja seorang lelaki melamarku, dan dia justru seorang presiden yang selalu memiliki daya tarik luar biasa."

Ujungnya, lamaran Bung Karno itu diterima orangtua Yurike. Ini membawa suasana lain. Sejak Bung Karno tahu lamarannya diterima, napas kegembiraan sering terlontar dari kerjap matanya. "Alhamdulillah," serunya pertama kali. "Berkuranglah bebanku selama menunggu jawaban itu. Semoga Tuhan selalu memberkahi langkah kita dan memberi kebahagiaan terhadap kita," ucap Bung Karno.

Seiring dengan itu, perlakuan Bung Karno terhadap Yurike otomatis makin istimewa pula. Bung Karno, misalnya, tidak lagi membahasakan dirinya dengan sebutan "saya", tetapi "aku". Beliau juga tidak pernah luput meminta Yurike memanggil dirinya dengan sebutan "Mas" setiap kali perempuan itu keceplosan menyapa "Pak" atau "Bapak".

Dalam kaitan ini, Yurike juga tak menyembunyikan sedikit pun rasa kagumnya kepada Bung Karno. Ia menilai Bung Besar itu benar-benar seorang kekasih yang arif. Dia tahu persis kapan harus langsung ke titik urusan dan kapan diperlukan diplomasi agar tidak terkesan mendikte atau memaksakan diri.

Selain itu, "Bung Karno pandai menempatkan diriku pada tempat yang semestinya. Bung Karno benar-benar berusaha dengan penuh kesabaran menjadikan aku calon istrinya. Lambat laun, hal itu membawa perubahan amat berarti bagiku. Perasaan kami jadi semakin tidak berjarak. Aku bisa cepat menyesuaikan diri sehingga segala kekakuan yang merintangi sikapku cair dengan sendirinya."

Tapi, di balik hubungan yang makin dekat itu, Yurike harus menelan pil pahit. Suatu ketika, Bung Karno meminta dia berhenti bersekolah. Dan itu sungguh mengejutkan. Tapi, "Memang ini salahku sendiri. Aku mulai berani mengadu kepadanya seputar bisik-bisik yang berkembang di sekolah yang berkembang menjadi aneka komentar yang disampaikan secara terang-terangan."

Walhasil, keputusan yang diambil adalah keluar dari sekolah. Pada waktu itu, Yurike masih duduk di kelas II SMA. Ayahnya datang ke sekolah dan secara khusus bicara empat mata dengan kepala sekolah. Alasan keluar tentulah karena Yurike akan menikah dengan Bung Karno. Lelaki itu juga mewanti-wanti agar sang kepala sekolah merahasiakan hal itu.

Yurike sendiri mengungkapkan kegundahannya atas keputusan tersebut. "Sejak itu, aku kehilangan napas duniaku yang amat kukenali selama bertahun-tahun, bahkan sejak kelas I sekolah rakyat. Di satu sisi, aku bisa bebas sebebas-bebasnya dalam arti sudah tidak terbebani kewajiban, tapi kenyataannya malah terbalik: aku justru terpasung di tengah kebebasan atau terbelenggu di tengah pesona kenikmatan yang diberikan orang lain."

Yurike didera kesepian. Apalagi setelah frekuensi kegiatannya di Barisan Bhinneka Tunggal Ika makin dikurangi. Ia merasa, Bung Karno secara tidak langsung mengatur hal ini. "Kukatakan secara tidak langsung karena Bung Karno tidak pernah menanyakan mengapa aku tidak hadir di antara keanekaragaman pakaian daerah seperti waktu-waktu sebelumnya."

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Yurike yang sudah jenuh dengan hubungan lewat perjalanan incognito malam-malam hari ke pantai di kawasan Tanjung Priok itu makin mendapat kepastian. Pada Kamis 6 Agustus 1964, yang disebutnya hari termanis itu, Bung Karno resmi menikahinya secara Islam.

Ia pun mencatat saat-saat paling istimewa sepanjang hidupnya tersebut. "Sikapku serba-gugup. Waktu terasa merangkak lambat sekali. Detik demi detik, menit demi menit. Kucoba sekuat mungkin mempertenang diri, tapi sia-sia. Kucoba alihkan pikiran ke masalah lain, tapi percuma. Masih terbayang jelas kunjungan calon penghulu kami kemarin malam ke rumah. Maksudnya tidak lain, untuk melatihku agar upacara benar-benar dapat berlangsung khidmat dan lancar."

Tepat pukul 10.00, Bung Karno hadir dengan pengawalan yang jauh dari ketat. Tidak terkesan sama sekali bahwa beliau adalah presiden yang bergelar Panglima Tertinggi ABRI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi. Pakaiannya sederhana sekali. Kemeja biru muda lengan pendek, celana biru tua, sepatu hitam, dan peci hitam ciri khasnya dirasakan Yurike benar-benar mempercerah penampilan lelaki itu. "Acara yang paling penting dalam sejarah hidupku dimulai," tulis dia.

GATRA (Dok. GATRA)

Duka Istri Presiden
Ternyata menjadi istri orang nomor satu di suatu negeri tidak selamanya enak. Kesepian yang menerpa dirinya bukannya berkurang. Makin lama, makin terasa menyesakkan. "Hari demi hari bergulir sesuai dengan kehendak sang waktu. Kadang kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak saling bertemu. Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh oleh arus perpisahan yang menerjang," tulis dia meluapkan perasaan itu.

Selama beberapa waktu, Yurike masih tinggal bersama orangtuanya sampai Bung Karno memberinya sebuah rumah di kawasan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Rumah itu diakui Bung Karno sebagai rumah sitaan kejaksaan milik seorang manipulator yang jadi buronan. Kesepian ternyata kian meradang berada di rumah besar itu. Apalagi, ia tidak bisa bebas keluar-masuk halaman yang dikelilingi pagar tertutup cukup tinggi.

Untuk mengusir rasa sepi, Yurike mengaku kerap melampiaskannya dengan berbagai cara. Salah satunya, menghabiskan waktu bergurau dengan para pengawal. "Dasar masih remaja, aku mengajak para pengawal bermain perang-perangan. Aku dan salah seorang adikku berada dalam satu kelompok, mereka dalam kelompok pihak lawan. Mereka dengan sabar mengikuti kemauanku." Terkadang, ia juga menghabiskan waktu dengan ikut main gaple bersama para pengawal.

Tapi hal yang paling mengagetkan dirasakannya adalah pada saat-saat Bung Karno terbakar api cemburu. Ini dialami Yurike ketika menjalani perawatan selama tiga pekan di Rumah Sakit Husada karena mengalami hamil di luar kandungan. Ia harus menjalani operasi untuk mengangkat janin itu. Ketika masuk rumah sakit hingga beberapa lama dirawat, kebetulan Bung Karno sedang bermuhibah ke luar negeri.

Ceritanya, selama dirawat, ada seorang dokter yang memberi perhatian khusus dan istimewa kepada Yurike. Dokter muda itu kerap menjenguknya sembari membawa buah atau yang lain. Terakhir, dokter muda bernama Arifin itu membawakan televisi dan majalah asing agar Yurike dapat mengusir rasa jemunya. Majalah asing itu juga cukup kontroversial: melaporkan pertemuan mesra Bung Karno dengan bintang seksi asal Italia, Gina Lolobrigida.

Begitu Bung Karno tahu, ia tampak sangat murka. Lucunya lagi, ulah si dokter itu dihubung-hubungkan dengan antek neokolonialisme (nekolim). Dengan suara lantang menggeledek, dia memerintahkan pengawalnya membuang semua itu. Bahkan, sebagai buntut kecemburuannya, Bung Karno konon menyuruh tim khusus memanggil dokter itu ke istana dan memeriksanya.

"Kesimpulan yang kudengar, sejauh tentang statusku sebagai istri Bung Karno, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Dia juga tidak terbukti ditunggangi nekolim --sebagaimana kecurigaan Bung Karno. Alhasil, tidak ada alasan untuk menahannya. Kendati demikian, tugasnya secara mendadak dipindahkan ke rumah sakit lain, hari itu juga."

GATRA (Dok. GATRA)

Saat-saat Terakhir
Langit tidak selamanya cerah. Ada saat-saat gumpalan awan hitam bergulung-gulung, bahkan tanpa celah sinar barang sejengkal. Keadaan bersih juga tak selamanya tergambar di langit karena tiba-tiba bisa keruh, menakutkan, kadangkala diwarnai suara petir yang menggelegar seolah sanggup merobek bumi. Demikian pula cerminan kehidupan Bung Karno.

Suatu hari, Bung Karno datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Pada saat itu, Yurike mestinya merasa senang dan menerima sang suami dengan hati berbunga-bunga. Tapi tidak pada hari itu. Kehadiran tersebut merupakan sebuah kabar buruk. Dia datang naik jip yang dikawal beberapa anggota polisi militer. Wajahnya datar, jauh dari ungkapan kegembiraan.

Itulah yang terjadi beberapa waktu setelah Soeharto dilantik menjadi penjabat presiden, persis pada 12 Maret 1967. Negara membutuhkan istana karena penjabat presiden akan melaksanakan tugas kenegaraannya dari tempat itu. Tidak ada jalan lain, Bung Karno harus angkat kaki dari istana yang telah dihuninya selama bertahun-tahun.

Meredupnya kekuasaan Bung Karno ikut mempengaruhi kehidupan yang dijalani Yurike. Tahun 1968 menjadi tahun yang dianggapnya paling memprihatinkan. Kondisi keuangannya kian tidak menentu. Tambahan lagi, kini tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk menggaji para pembantu yang jumlah totalnya ada 20-an orang.

Efek yang lebih menyesakkan, sudahlah Bung Karno hidup dalam isolasi di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, Yurike pun harus angkat kaki dari rumah di Cipinang Cempedak. Berkali-kali pihak kejaksaan meminta dia mengosongkan bekas rumah pengusaha buronan bernama King Gwan itu, berkali-kali pula ia menolak. Ia baru angkat kaki setelah menerima pesan singkat Bung Karno yang ditulis di atas kertas bungkus rokok. "Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan milik kita."

Yang lebih menyesakkan, Bung Karno bahkan menyarankan agar Yurike mengajukan permintaan cerai. Ini mengguratkan suasana haru yang menyelimutinya pada saat itu. "Aku sedih. Betul-betul sedih. Tidak kubayangkan perkataan itu keluar dari bibir Bung Karno," katanya.

Menurut Bung Karno, situasi politik dalam negeri dan kondisi kesehatannya yang memburuk bisa berefek kurang baik bagi kehidupan Yurike selanjutnya secara lahir-batin. Awalnya ia menolak, dengan menegaskan hanya ingin hidup selamanya dengan Bung Karno. "Saya tidak minta apa-apa lagi. Mata Bung Karno berkaca-kaca. Hatiku pun menangis sejadinya," tulis dia.

Akhirnya, Yurike memang bercerai dari Bung Karno secara baik-baik. Peristiwa yang sungguh mengharukan karena mereka masih sama-sama saling mencintai. Sebuah perpisahan yang justru terjadi ketika mereka tengah dekat dan sangat rapat.

Tapi, di atas segala kepedihan itu, yang paling menyesakkan tentulah ketika ia mendengar kabar wafatnya "sang penyambung lidah rakyat Indonesia" itu pada 21 Juni 1970. "Kata orang, aku tidak sekadar meratap, tetapi histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil namanya hingga suaraku tak terdengar lagi...."
                                                                                                                                            
Refrensi : http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2010/04/cinta-mati-gadis-remaja-kepada-bung.html
Ratna Sari Dewi yang berdarah Jepang bernama asli Naoko Nemoto, merupakan istri kelima dari mantan presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu Ir. Soekarno, wanita kelahiran Tokyo, 6 Februari 1940. Yang dinikahi oleh Soekarno pada tahun 1962 itu terdaftar dengan nama lengkap Ratna Sari Dewi Soekarno yang beralamat di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho, 31-1, Tokyo.

Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.

Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesi geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.

Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.
Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.
Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.
Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang.
Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar dir akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati.

Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya.
Buah asmara Bung Karno – Ratna Sari Dewi adalah seorang gadis cantik yang diberinya nama Kartika Sari Dewi atau akrab disapa Karina. Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial yang begitu tinggi. (roso daras).

                                                                                                                                       
Refrensi : http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/family/idx.asp?box=detail_family&from_box=list_family&id_family=27&hlm=1&presiden=sukarno&search_ruas=&search_keyword=&submenu=family&activation_status=
Nama : Hartini.

Hartini Soekarno, Lahir di Ponorogo Jawa imur pada tanggal 20 September 1924 beragama Islam. Hartini menempuh pendidikan awal di HIS ( Holland Indlands School ) dan terakhir Kelas dua SMA yaitu pada tahun 1942. Wanita Karir di bidang Wiraswasta ini beralamat di Jalan Proklamasi No. 62 di Jakarta Pusat.

Enam belas tahun dalam suka maupun duka, Hartini setia mendampingi suaminya hingga wafat. Resmi menjadi istri Soekarno, setahun setelah pertemuannya yang pertama di Prambanan, Yogyakarta tahun 1952. Ketika itu ia sudah menjadi janda berusia 28 tahun. Dengan suaminya yang pertama, Suwondo, ia dikaruniai lima anak. Menikah dengan Soekarno, ia mendapat dua anak.

Biasa dipanggil Tien, ia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Osan, pegawai kehutanan, mendidiknya secara tradisional. Tidak mengherankan bila Tien berpendidikan formal hanya hingga kelas dua SMA. Pendapatnya tentang istri cukup sederhana. Selain sebagai istri, kita juga adalah ibu, kawan, dan kekasih bagi suami.

Sebagai ibu, menurut Tien, bila suami sakit harus dilayani dengan cermat. Meminumkan obat, memijati, dan mengelusnya hingga terlena. Sebagai kawan, di mana dan kapan pun, patut mengimbangi pembicaraannya. Ia banyak membaca dan rajin mengumpulkan informasi, agar mampu menjadi kawan bicara yang baik dan bijak.
Awet muda dan tampak cantik dalam usia 60 tahun. Rahasia kecantikan Hartini, setiap bangun pagi ia segera minum segelas air putih dan olah raga ringan. Juga minum jamu ramuan sendiri berupa kunyit, daun asam, temu, asem kawak, daun beluntas, dan gula merah, yang direbusnya. Ia minum jamu dua kali sehari dan tidak makan yang amis, seperti ikan dan telur.
I. Lahirnya Seorang Pejuang Wanita Sejati
Orang boleh beranggapan, bahwa Bengkulu masih tergolong wilayah periferal (wilayah pinggiran) yang dianggap jauh dari arus aktivitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membutktikan, bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Dan di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata dikelak kemudian hari menjadi seorang ibu negara (first lady) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Di tengah-tengah merebaknya semangat patriotik serta bergolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak perempuan yang manis, tepatnya pada hari Senin, jam 12.oo (WIB) pada tanggal 5 Februari 1923, di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu. Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti, Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.

II. Masa Remaja
Pada umumnya, kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap masa kecil seseorang. Demikian juga Fatmawati1. Sosialisai dan Jati-diri yang Matang Di tengah merebaknya gelombang pergerakan rakyat Indonesia yang telah dibikin sadar karena ulah kaum kolonialis, telah lahir seorang anak perempuan pada tanggal 5 Februari 1923 di Bengkulu, yang diberi nama Fatmawati, yang berarti : Bungai Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din, seorang aktivis terkemuka organisasi Muhammadiyah di Bengkulu pada zaman itu.
Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.
Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja.
Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan. Bahkan salah seorang dari keluarga ibunya sempat geleng-geleng kepala karena dibikin kagum, sambil berkata: “Tema (panggilan akrabnya) tu anak yang pemberani nian, seorang ajo nyo pai ke rumah sakit, idaknyo takut-takut jo dokter” (hlm. 23).

2. Prinsip Anti Poligami
Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati (Cindy Adams, 1966: 185-198). Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

3. Berjuang di tengah Api Revolusi
Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Ibu Fatmawati segera berangkat ke Jakarta tidak sekedar untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi juga ikut berperan aktif, bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk membela Nusa dan Bangsanya. Bahkan Bung Karno selaku pemimpin pejuang tidak ragu-ragu untuk sering meminta pendapat maupun pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya. Ketika Ibu Fatmawati ikut hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), dan usai menyaksikan pidatonya Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikemudian hari dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila itu, secara reflektif beliau memprediksikan angannya: “Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis, dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud” (hlm. 81; Roeslan Abdulgani, 1987: 131).
Di tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan (15 Agustus 1945), sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, telah memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju ke Rengasdengklok. Dan dalam situasi yang kritis itu, Ibu Fatmawati dengan semangat reflektif, sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih bayi, segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.

4. Ibu Fatmawati dan Sang Saka Merah Putih
Perjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Untuk lebih jelasnya, berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Fatmawati, 1978: 86):
Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku.

Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

5. Perjuangan Ibu Fatmawati dalam Perang Gerilya
Semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gejolak api revolusi semakin membara. Meskipun mendapat rintangan keras dari bala tentara Jepang maupun tentara Sekutu, para pejuang bangsa Indonesia tetap bertekad bulat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsanya, dan tidak tidak miris sedikitpun menghadapi kaum imperialis dan kolonialis.
Oleh karena situasi keamanan di ibukota Jakarta hingga akhir tahun 1946 dianggap sangat membahayakan, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Republik Indonesia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi keselamatan para pemimpin bangsa maupun pemerintahan Republik Indonesia (30 Tahun Indonesia Merdeka I, 1985:79). Dan sebagai ibu negara, tentu saja Ibu Fatmawati sekeluarga ikut hijrah ke Yogya, meskipun harus melewati pagar berduri (Fatmawati, 1978: 128).
Selama di Yogya, Ibu Fatmawati tidak saja berperan sebagai pengatur rumah tangga kepresidenan yang setiap saat harus melayani dan menjamu para pejuang yang sering datang hilir mudik. Bahkan beliau tidak segan-segan pernah pergi sendiri tanpa pengawal berbelanja ke pasar (hlm.133). Di samping itu, beliau juga sering mendampingi Presiden ke daerah-daerah baik Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, untuk memberikan wejangan-wejangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan sekali-kali, beliau dimintai langsung oleh rakyat Ceribon untuk tampil di mimbar (hlm.134).
Ketika terjadi clash II (19 Desember 1948), ibukota Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan dan selanjutnya di terbangkan ke Bangka (30 tahun Indonesia Merdeka, 1985:191-192). Sementara itu, Ibu Fatmawati sekeluarga, dan keluarga Hatta, serta beberapa menteri, ajudan, maupun sekretarisnya, diizinkan tetap tinggal di Gedung Kepresidenan Yogya sebagai tawanan. Namun tidak lama lagi, seluruh tawanan termasuk Ibu Fatmawati sekeluarga segera diusirnya. Selanjutnya Ibu Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah kosong di Batanawarsa, dekat Kali Code. Meskipun pasukan Belanda sering mengawasi rumah yang ditempati oleh beliau, tetapi beliau masih tetap menjalin kontak dengan para pejuang yang bergerilya. Secara sembunyi-sembunyi beliau membantu mengirim perbekalan para pejuang yang bergerilya baik berupa makanan, maupun pakaian. Bahkan beliau pernah menyerahkan beberapa butir pelor yang ditemukan di halamannya untuk diserahkan kepada gerilyawan. Di samping itu, beliau juga membagikan makanan kepada para istri pejuang yang ditinggal bergerilya (hlm. 139).

6. Prinsip Tegas Anti Poligami
Meskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati-diri yang sudah lama tertanam sejak masih remaja, masih tetap merekat kuat, tidak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Kepribadiannya yang kokoh dengan dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah. Misalnya, ketika beliau akan mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri (India dan Pakistan), beliau terpaksa harus meminjam atau dipinjami perhiasan milik istri Sekretaris Negara (hlm. 172). Hal tersebut membuktikan, bahwa kehidupan beliau sebagai Ibu Negara jelas tidak mencerminkan pola kehidupan yang glamour, tetapi justru lebih menunjukkan kesederhaan dan keprasajaan. Dan hendaknya dipahami pula, bahwa dasar peminjaman sebuah perhiasan tersebut bukanlah untuk glamour ataupun pamer, tetapi semata karena posisinya sebagai Ibu Negara yang akan bertemu dengan tuan rumah dari negera lain, maka harus saling menghormati (seperti pepatah Jawa mengatakan: “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”).
Semangat juang yang gigih dan tangguh serta ketabahan beliau yang luar biasa baik selama perang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan pun takkan pernah pudar. Keimanan serta ketabahan beliau kembali teruji, bahkan kali ini yang mengujinya bukan siapa-siapa, melainkan presidennya sendiri, Bung Karno, suami tercinta yang dikaguminya. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliaupun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”(hlm. 175). Dan di tahun 1954 krisis rumah tangga beliau semakin memuncak. Demi mempertahankan harga diri dan tetap berprinsip anti poligami, maka beliau bertekad meninggalkan istana, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang dicintainya, meskipun Bung Karno tidak mengizinkannya untuk meninggalkan istana (hlm. 267). Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri, benar-benar “sepi ing pamrih”.

7. Penutup
Demikianlah paparan yang singkat dan sederhana mengenai liku-liku perjuangan Ibu Fatmawati baik semasa kecilnya di Bengkulu, maupun setelah mendampingi Bung Karno, dan terlibat secara aktif dalam perjuangan membela nusa dan bangsanya, serta rela menempuh kehidupan seorang diri demi mempertahankan sebuah prinsip dan harga diri seorang ibu.
Mengingat betapa besarnya sumbangsih dan jasa yang telah beliau abdikan kepada bangsa Indonesia, baik selama perjuangan sebelum Indonesia merdeka maupun pasca Indonesia Merdeka, maka sungguhlah bijak dan sudah sepantasnya bilamana bangsa Indonesia, dalam hal ini Pemerintah Orde Baru Republik Indonesia, melalui tangan Bapak Presiden, berkenan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhumah Ibu Fatmawati.

“Biarpun bunga teratai telah membangkai,
kenangan harumnya takkan sirna,
biarlah peristiwa itu telah terlupa,
tapi fakta tetap bicara”

                                                                                                                   
Refrensi : http://bengkoelen-bengkoelezen.blogspot.com/2008/10/riwayat-hidup-singkat-dan-perjuangan.html
Fatmawati yang bernama asli Fatimah (lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 – meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun)[1] adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno.. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari pernikahannya dengan Soekarno ia dikaruniai 5 orang anak.

                                                                                                                            
Refrensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Fatmawati

Artikel Terkait                                                                                                                            

Sebuah roman percintaan yang menggetarkan hati. Inggit Ganarsih bagi Soekarno bukan hanya seorang istri yang memberinya cinta saja, tapi juga seorang kawan yang memberi tanpa diminta, sekaligus juga bagai seorang ibu yang memberikan kasih yang tidak ia nikmati sebelumnya. Takdir umur perjodohan mereka berakhir ketika tiba di muka gerbang kemerdekaan. Inggit berpisah dengan Soekarno, namun hatinya Inggit masih penuh kasih, maaf, dan doa, buat Kusnonya tercinta.

Tulisan berseri ini merupakan ringkasan dari buku biografi kisah cinta Inggit dengan Soekarno, yang ditulis oleh Ramadhan KH, dengan judul ‘Kuantar Ke Gerbang’. Diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Cetakan pertama, Mei 1981.

***

Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang dianggapnya sebagai mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi seluruh bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Dan aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluskan keinginan-keinginannya,. Tetapi pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai ke gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya.

Begitulah ungkapan perasaan yang dari lubuk hati terdalamnya Inggit Ganarsih, istri keduanya Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia. Inggit, wanita yang mendampingi Sang Putra Fajar itu ketika melewati masa-masa sulitnya. Bahkan ketika harus menjalani masa-masa pengasingannya, jauh diseberang lautan, dikucilkan dari kawan, dipisahkan dari sanak kadangnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua para janda mendiang Presiden Soekarno, yang masing-masing dari mereka punya andil dan jasa besar bagi Soekarno dan bangsa ini. Inggit berperan bagaikan Khadijah ra (istri Rasulullah SAW) bagi Soekarno, dimana separuh dari semua prestasi Soekarno (selama masa meretas dan merintis dan menggugah kesadaran bangsa untuk meraih kemerdekaannya) dapat dikatakan ada andil besar atas diri Inggit sebagai pendamping setianya Soekarno.

Apapun kekurangan Soekarno sebagai manusia, apapun segi negatifnya, ia tetaplah seorang pejuang kemerdekaan yang telah berjasa besar bagi bangsa dan tanah airnya, Indonesia. Benci atau cinta, lawan ataupun kawannya, penghujat ataupun pemujanya, tak akan mengubah fakta, ia tetap lebih besar ketimbang semua musuh-musuhnya. Soekarno, fakta yang berbicara, tak terbantahkan, ia adalah salah satu putra terbaik sekaligus seorang tokoh terbesar sepanjang sejarah Indonesia dari mulai menjelang kemerdekaan sampai dengan hari ini.

Soekarno, sosok manusia yang multi dimensi, selain pejuang yang garang bagai macan di medan juang, ia juga seorang yang romantis dalam relasinya dengan wanita. Inilah sepenggal kisah cerita roman percintaannya, dengan Inggit Ganarsih.

Selamat membaca !.

*

Aku masih ingat bagaimana pada mulanya ia, Kusno, atau Soekarno itu sampai di rumah kami. Suamiku, Sanusi menerima sepucuk surat dari HOS Tjokroaminoto. Surat itu menceritakan tentang anaknya, lebih tepat menantunya, yang akan bersekolah di Bandung, dan meminta agar kami mencarikan sebuah pemondokan baginya.

“Dimana kira-kiranya kita bisa tempatkan dia ?”, tanya suamiku.

Aku tak bisa memberikan jawaban segera. Sejenak aku terdiam. Tetapi kemudian aku berkata, “Susah kita mesti melayaninya dengan istimewa. Dan sula lagi. Tentu bakal banyak temannya. Dan studen lagi…”.

Dimataku memang ia juga bukan seseorang yang harus dimanja. Tetapi pada saat-saat ini aku masih keberatan juga untuk menerimanya di rumah kami. Namun akhirnya kami mendapatkan kesepakatan, bahwa untuk sementara bisalah kami tempatkan dia di kamar depan, sambil mencari tempat yang lebih pantas, rumah yang lebih memadai dan yang lebih disukainya.

*

Akhirnya yang kami tunggu-tunggu muncul juga, diantar oleh suamiku yang menjemputnya di stasiun. Ia mengenakan peci beludru hitam kebanggaannya, pakaian putih-putih. Cukupan tinggi badannya. Ganteng. Anak muda yang pesolek, perlente. Diatas segalanya, aku sudah terpengaruh oleh cerita orang sebelumnya, bahwa ia pemuda harapan bangsa di masa depan. Ia cakap berpidato, penerus bapak HOS Tjokroaminoto.

Sejak bertemu dan bersalaman, pemuda itu sudah menyenangkan. Ia gampang bergaul, dan ia dengan roman muka menggembirakan mau menerima apa saja yang aku hidangkan.Ia juga seorang yang benar-benar periang, jauh lebih periang dibandingkan dengan suamiku. Percakapannya menghidupkan rumah kami.

Mendengar ia menolak untuk dicarikan tempat lain yang lebih pantas dan menyenangkan, aku menjadi tak keruan. Jadi bertambah bebanku. Namun aku tak mengeluh, karena sudah terbiasa suamiku membawa banyak temanku ke rumah ini. Terutama kalau ada pertemuan Sarekat Islam.

*

Semenjak kedatangan Kusno, rumah kami menjadi jauh lebih ramai dikunjungi orang. Kusno yang oleh teman-temannya dipanggil Soekarno, cepat mempunyai banyak teman. Ia banyak menjadi perhatian banyak kawannya karena kecakapannya berbicara, kecapakapannya menjelaskan pikirannya.

Kejadian ini menyebabkan aku lebih sibuk dari biasanya, namun hidupku jadi bergairah. Sekarang justru yang jadi soal bagiku adalah suamiku, kang Uci. Ia masih juga tetap suka sering keluar rumah, aekarang lebih sulit bagiku menahan suamiku, karena kesempatan bicara panjang dengannya jarang ada. Siang hari, begitu banyak orang di rumah. Malam hari, selewat sembahyang Isya ia menghilang, pulang kalau sudah larut malam.

*

Pada suatu ketika Kusno pergi menjemput istrinya, Utari, putri pak HOS Tjokroaminoto. Tentu saja, mereka kami tempatkan dalam satu kamar dengan Kusno. Namun pada suatu malam, Kusno bicara terus terang kepadaku, menjeaskan bahwa ia belum berhubungan sebagai suami istri dengan Utari.

Mengapa ia berani berterus terang begitu kepadaku ?. Mengapa kepadaku ?.

“Hubungan kami tidak beda seperti adik dan kakak. Dan tidak lebih dari itu”, kata Kusno. Ia juga memintaku agar Utari ditempatkan di kamar lain, yang terpisah dengan dirinya.

Aku diam mendengarkannya. Memang begitulah tampaknya, yang seorang ke kanan, yang seorang ke kiri. Yang seorang sibuk membaca, belajar dengan tekun, yang seorang main simbang dan lompat-lompatan di halaman. Terlalu berjauhan dunia mereka, pikirku. Tetapi kemudian aku mencoba memberi nasihat agar hubungan mereka diperbaiki.

*

…Bersambung ke tulisan berikutnya : Kisah cinta Inggit dengan Soekarno [02] …
                                                                                                                                  
Refrensi: http://umum.kompasiana.com/2009/07/24/kisah-cinta-inggit-dengan-soekarno-01/