Background

Kisah Cinta Inggit dengan Soekarno

Sebuah roman percintaan yang menggetarkan hati. Inggit Ganarsih bagi Soekarno bukan hanya seorang istri yang memberinya cinta saja, tapi juga seorang kawan yang memberi tanpa diminta, sekaligus juga bagai seorang ibu yang memberikan kasih yang tidak ia nikmati sebelumnya. Takdir umur perjodohan mereka berakhir ketika tiba di muka gerbang kemerdekaan. Inggit berpisah dengan Soekarno, namun hatinya Inggit masih penuh kasih, maaf, dan doa, buat Kusnonya tercinta.

Tulisan berseri ini merupakan ringkasan dari buku biografi kisah cinta Inggit dengan Soekarno, yang ditulis oleh Ramadhan KH, dengan judul ‘Kuantar Ke Gerbang’. Diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Cetakan pertama, Mei 1981.

***

Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang dianggapnya sebagai mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi seluruh bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Dan aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluskan keinginan-keinginannya,. Tetapi pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai ke gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya.

Begitulah ungkapan perasaan yang dari lubuk hati terdalamnya Inggit Ganarsih, istri keduanya Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia. Inggit, wanita yang mendampingi Sang Putra Fajar itu ketika melewati masa-masa sulitnya. Bahkan ketika harus menjalani masa-masa pengasingannya, jauh diseberang lautan, dikucilkan dari kawan, dipisahkan dari sanak kadangnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua para janda mendiang Presiden Soekarno, yang masing-masing dari mereka punya andil dan jasa besar bagi Soekarno dan bangsa ini. Inggit berperan bagaikan Khadijah ra (istri Rasulullah SAW) bagi Soekarno, dimana separuh dari semua prestasi Soekarno (selama masa meretas dan merintis dan menggugah kesadaran bangsa untuk meraih kemerdekaannya) dapat dikatakan ada andil besar atas diri Inggit sebagai pendamping setianya Soekarno.

Apapun kekurangan Soekarno sebagai manusia, apapun segi negatifnya, ia tetaplah seorang pejuang kemerdekaan yang telah berjasa besar bagi bangsa dan tanah airnya, Indonesia. Benci atau cinta, lawan ataupun kawannya, penghujat ataupun pemujanya, tak akan mengubah fakta, ia tetap lebih besar ketimbang semua musuh-musuhnya. Soekarno, fakta yang berbicara, tak terbantahkan, ia adalah salah satu putra terbaik sekaligus seorang tokoh terbesar sepanjang sejarah Indonesia dari mulai menjelang kemerdekaan sampai dengan hari ini.

Soekarno, sosok manusia yang multi dimensi, selain pejuang yang garang bagai macan di medan juang, ia juga seorang yang romantis dalam relasinya dengan wanita. Inilah sepenggal kisah cerita roman percintaannya, dengan Inggit Ganarsih.

Selamat membaca !.

*

Aku masih ingat bagaimana pada mulanya ia, Kusno, atau Soekarno itu sampai di rumah kami. Suamiku, Sanusi menerima sepucuk surat dari HOS Tjokroaminoto. Surat itu menceritakan tentang anaknya, lebih tepat menantunya, yang akan bersekolah di Bandung, dan meminta agar kami mencarikan sebuah pemondokan baginya.

“Dimana kira-kiranya kita bisa tempatkan dia ?”, tanya suamiku.

Aku tak bisa memberikan jawaban segera. Sejenak aku terdiam. Tetapi kemudian aku berkata, “Susah kita mesti melayaninya dengan istimewa. Dan sula lagi. Tentu bakal banyak temannya. Dan studen lagi…”.

Dimataku memang ia juga bukan seseorang yang harus dimanja. Tetapi pada saat-saat ini aku masih keberatan juga untuk menerimanya di rumah kami. Namun akhirnya kami mendapatkan kesepakatan, bahwa untuk sementara bisalah kami tempatkan dia di kamar depan, sambil mencari tempat yang lebih pantas, rumah yang lebih memadai dan yang lebih disukainya.

*

Akhirnya yang kami tunggu-tunggu muncul juga, diantar oleh suamiku yang menjemputnya di stasiun. Ia mengenakan peci beludru hitam kebanggaannya, pakaian putih-putih. Cukupan tinggi badannya. Ganteng. Anak muda yang pesolek, perlente. Diatas segalanya, aku sudah terpengaruh oleh cerita orang sebelumnya, bahwa ia pemuda harapan bangsa di masa depan. Ia cakap berpidato, penerus bapak HOS Tjokroaminoto.

Sejak bertemu dan bersalaman, pemuda itu sudah menyenangkan. Ia gampang bergaul, dan ia dengan roman muka menggembirakan mau menerima apa saja yang aku hidangkan.Ia juga seorang yang benar-benar periang, jauh lebih periang dibandingkan dengan suamiku. Percakapannya menghidupkan rumah kami.

Mendengar ia menolak untuk dicarikan tempat lain yang lebih pantas dan menyenangkan, aku menjadi tak keruan. Jadi bertambah bebanku. Namun aku tak mengeluh, karena sudah terbiasa suamiku membawa banyak temanku ke rumah ini. Terutama kalau ada pertemuan Sarekat Islam.

*

Semenjak kedatangan Kusno, rumah kami menjadi jauh lebih ramai dikunjungi orang. Kusno yang oleh teman-temannya dipanggil Soekarno, cepat mempunyai banyak teman. Ia banyak menjadi perhatian banyak kawannya karena kecakapannya berbicara, kecapakapannya menjelaskan pikirannya.

Kejadian ini menyebabkan aku lebih sibuk dari biasanya, namun hidupku jadi bergairah. Sekarang justru yang jadi soal bagiku adalah suamiku, kang Uci. Ia masih juga tetap suka sering keluar rumah, aekarang lebih sulit bagiku menahan suamiku, karena kesempatan bicara panjang dengannya jarang ada. Siang hari, begitu banyak orang di rumah. Malam hari, selewat sembahyang Isya ia menghilang, pulang kalau sudah larut malam.

*

Pada suatu ketika Kusno pergi menjemput istrinya, Utari, putri pak HOS Tjokroaminoto. Tentu saja, mereka kami tempatkan dalam satu kamar dengan Kusno. Namun pada suatu malam, Kusno bicara terus terang kepadaku, menjeaskan bahwa ia belum berhubungan sebagai suami istri dengan Utari.

Mengapa ia berani berterus terang begitu kepadaku ?. Mengapa kepadaku ?.

“Hubungan kami tidak beda seperti adik dan kakak. Dan tidak lebih dari itu”, kata Kusno. Ia juga memintaku agar Utari ditempatkan di kamar lain, yang terpisah dengan dirinya.

Aku diam mendengarkannya. Memang begitulah tampaknya, yang seorang ke kanan, yang seorang ke kiri. Yang seorang sibuk membaca, belajar dengan tekun, yang seorang main simbang dan lompat-lompatan di halaman. Terlalu berjauhan dunia mereka, pikirku. Tetapi kemudian aku mencoba memberi nasihat agar hubungan mereka diperbaiki.

*

…Bersambung ke tulisan berikutnya : Kisah cinta Inggit dengan Soekarno [02] …
                                                                                                                                  
Refrensi: http://umum.kompasiana.com/2009/07/24/kisah-cinta-inggit-dengan-soekarno-01/

Categories: Share

Leave a Reply